Minggu, 21 Oktober 2012

Menjadi Sarjana Posted on 27 Februari 2012 Hingga saat ini menjadi sarjana mungkin masih manjadi dambaan dan harapan bagi sebagian besar orang, tentu dengan alasan dan motif yang yang bersifat naif-pragmatis hingga motif altruistik-idealis. Dalam hal ini, motif naif-pragmatis bisa dimaknai sebagai dorongan yang lebih tertuju kepada kepentingan pribadi, untuk misalnya kedudukan dalam jabatan, melalui upaya dan tindakan yang menghalalkan segala cara. Sementara motif altruistik-idealis dapat dipahami sebagai motif yang didasari untuk melayani dan memberikan manfaat bagi orang lain, melalui upaya belajar keras dan penuh kesungguhan. Sarjana adalah gelar akademik yang Untuk memperoleh gelar sarjana, secara normatif pendidikan sarjana (S-1). dibutuhkan waktu perkuliahan selama perkuliahan dengan jumlah SKS sebanyak dinyatakan lulus oleh sebuah perguruan tinggi, maka dia berhak menyandang gelar sarjana. Hingga era akhir 70-an, keberadaan sarjana boleh dikatakan tergolong makhluk langka di bumi Indonesia, mungkin karena pada waktu itu jumlah perguruan tinggi (negeri maupun swasta) di Indonesia masih relatif terbatas. Namun seiring dengan semakin diperluasnya jumlah program studi dan terus berkembangnya jumlah perguruan tinggi hingga ke pelosok-pelosok daerah, maka jumlah sarjana Indonesia pun semakin bertebaran, dengan bidang keahlian yang beragam. Sebelum tahun 1993, sebutan gelar sarjana di Indonesia masih bisa dihitung dengan jari, sebut saja misalnya: Drs., Dra, Ir., atau SH. Namun sejak tahun 1993 (Keputusan Mendikbud No. 036/U/1993), menjadi lebih beragam, disesuaikan dengan bidang keahlian masing-masing, (saat ini jumlahnya hingga mencapai puluhan, saya pun tak kuasa untuk mengingatnya satu per satu). Belakangan ini sedang berkembang polemik terkait dengan adanya Surat Edaran dari Dirjen Dikti No. 152/E/T/2012 tentang kewajiban publikasi ilmiah dalam Jurnal sebagai syarat untuk lulus menjadi sarjana. “Seorang sarjana harus memiliki kemampuan menulis secara ilmiah, termasuk menguasai tata cara penulisan ilmiah yang baik”, demikian ungkap Dirjen Dikti Kemdikbud, Djoko Santoso, diwawancarai oleh Kompas.com. Walau secara teknis, mungkin akan timbul berbagai persoalan dalam mengimplementasikannya, tetapi secara pribadi pada dasarnya saya setuju dengan adanya ketentuan ini, dengan harapan semoga dapat memperbaiki mutu sarjana kita, khususnya dalam mengembangkan budaya intelektual, yang belakangan ini tampaknya cenderung memudar. Perkembangan terbaru, berdasarkan Peraturan Presiden No. 8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, jabatan teknisi atau analis (bukan dikategorikan sebagai ahli) yang berada pada level (jenjang) 6 (enam), dengan gambaran kualifikasi, sebagai berikut: Mampu mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan IPTEKS pada bidangnya dalam penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi situasi yang dihadapi. Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural. Mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data, dan mampu memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok. Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja organisasi. Kerangka Kualifikasi Memperhatikan ketentuan tentang (KKNI) tesebut, tampak bahwa seorang sarjana sesungguhnya memiliki posisi yang relatif tinggi dalam struktur masyarakat Indonesia, dilihat dari kapasitas keilmuan dan kompetensi yang dimilikinya. Dengan demikian kiranya cukup terang, sesungguhnya sembarangan dan bukan sembarangan orang. Kepadanya dituntut untuk tersedia kapasitas kognitif tingkat tinggi serta memiliki tanggung jawab yang tidak hanya pada dirinya dan lingkungan dimana dia berada, tetapi juga memikul tanggung jawab yang hakiki yaitu kepada Sang Khalik Barangkali itulah sarjana yang sejatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar